Buntok Kota – Sekretaris Jenderal Dalam pidatonya yang menggugah, Qassem menolak mentah-mentah segala bentuk tekanan agar kelompoknya meletakkan senjata. “Bagi kami, senjata bukan sekedar alat perang, tapi simbol perlawanan dan kehormatan,” ujarnya dengan lantang di hadapan ribuan pendukung yang memadati jalanan ibu kota Lebanon.
Asyura yang jatuh setiap tanggal 10 Muharram dalam kalender Islam, merupakan hari berkabung bagi umat Syiah untuk mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad, Imam Husain, dalam Pertempuran Karbala. Namun di tengah peringatan spiritual ini, Qassem mengubah suasana menjadi panggung politik yang penuh semangat
Qassem menafsirkan logika mereka yang menekan Hizbullah agar melucuti diri mereka, tanpa terlebih dahulu menuntut diakhirinya agresi Israel
Pernyataan ini tidak datang di ruang hampa. Dalam beberapa bulan terakhir, ketegangan antara Hizbullah dan Israel kembali meningkat, terutama di perbatasan selatan Lebanon. Serangan drone, baku tembak, dan retorika panas dari kedua belah pihak mengindikasikan bahwa konflik lama belum sepenuhnya reda. Di tengah situasi seperti ini, seruan pelucutan senjata Hizbullah terus mengemuka dari dalam negeri Lebanon sendiri, terutama dari kelompok-kelompok politik yang khawatir akan berdampak militerisasi terhadap stabilitas nasional.

Baca Juga : NATO Bersiap Konfrontasi, Latihan BALTOPS Dikecam sebagai Ancaman
Namun, Qassem menegaskan bahwa perjuangan bersenjata adalah bagian yang tak terpisahkan dari identitas Hizbullah. “Jika ada yang memilih untuk menyerah, itu urusan mereka – tetapi bagi kami, kami tidak bersedia,” katanya. Kalimat ini mengandung pesan yang jelas: Hizbullah tidak akan melepaskan senjatanya selama ancaman dari luar masih ada.
Reaksi terhadap pidato Qassem pun bermacam-macam. Para pendukung memujinya sebagai suara keberanian dan prinsip, sementara para kritikus menganggap pernyataannya sebagai bentuk keras kepala yang berisiko menyeret Lebanon ke dalam konflik regional yang lebih besar.
Namun satu hal yang pasti: Hizbullah tidak akan diam atau mundur begitu saja. Di tengah tekanan geopolitik, ketegangan internal, dan masa depan Lebanon, kelompok ini memilih untuk terus mempertahankan posisi persenjataannya sebagai benteng perlawanan.
Bagi sebagian orang, itu adalah bentuk keberanian. Bagi yang lain, itu adalah potensi bencana. Tapi bagi Hizbullah dan para pendukungnya, itu adalah harga dari martabat.