Inilah yang Terjadi Ketika Ratusan Anggota Gapoktanhut Geruduk DPRD Lamandau: Suara Lantang Pencari Keadilan di Bumi Borneo
Inews Buntok Kota– Suasana biasanya yang tenang dan formal di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, mendadak berubah menjadi riuh rendah pada sebuah Selasa pagi, 9 September 2025. Gelombang manusia yang terdiri dari ratusan petani hutan, dengan raut wajah penuh tekad dan kekecewaan, memenuhi halaman dewan. Mereka bukan datang untuk sebuah acara seremonial, melainkan untuk menuntut hak yang mereka rasa telah terampas selama tiga tahun terakhir. Ini adalah puncak dari sebuah kesabaran yang telah habis, sebuah drama konflik agraria yang menyuarakan jeritan hati para pelestari hutan.
Mereka adalah anggota Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) “Sepakat Bahaum Bakuba”. Spanduk-spanduk yang mereka kibarkan bukan sekadar kain, melainkan kanvas yang memuat tulisan-tulisan kepedihan dan tuntutan: “Tolok Pengurus Tidak Transparan!”, “Kembalikan Hak Kami Atas Lahan!”, dan “Minta Keadilan untuk Kesejahteraan Petani!”. Aksi ini adalah sebuah langkah heroik, sebuah upaya untuk membawa persoalan yang rumit dan berlarut-larut dari lapangan langsung ke meja kebijakan.
Akar Masalah: Tiga Tahun Kegalauan yang Terpendam
Konflik yang memuncak ini berakar pada masalah internal pengelolaan Gapoktan. Lima Kelompok Tani Hutan (KTH) yang tergabung di dalamnya—KTH Berkah Bersatu, KTH Batu Tundang, KTH Sukses Bersatu, KTH Batu Duyung, dan KTH Cipta Kita Bersama—merasa telah dirugikan secara sistematis. Tuduhan utama mereka adalah ketiadaan transparansi dari pengurus dalam mengelola lahan kelompok seluas lebih dari 3.000 hektare.

Baca Juga: Hujan Deras Tak Surutkan Semangat Final Kejurprov Motoprix Barsel Cup 2025
Duel Argumentasi dalam Rapat Dengar Pendapat
Suasana tegang namun tertib menyelimuti prosesi aksi. Setelah berorasi di luar, perwakilan massa akhirnya dipersilakan masuk untuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang langsung dihadiri oleh pimpinan dan anggota DPRD Lamandau. Forum ini menjadi panggung dimana dua sisi berseberangan berhadapan langsung.
Di satu sisi, Suandi, salah seorang perwakilan petani, dengan lantang menyampaikan kegelisahan anggotanya. “Kami meminta DPRD dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi dan mencari solusi agar masalah Gapoktanhut ini tidak berlarut-larut. Yang dirugikan adalah kami, masyarakat yang menjadi anggota KTH,” katanya. Pernyataan ini mewakili suara ratusan petani di luar yang menaruh harapan besar pada institusi dewan.
Di sisi lain, Aprina Maya Rosilawaty, Ketua Gapoktan Sepakat Bahaum Bakuba, yang hadir dalam forum tersebut, membantah semua tuduhan. Dalam pembelaannya, dia justru membeberkan kompleksitas permasalahan di lapangan. Dia menjelaskan bahwa dari total lahan yang dikelola, sebagian telah terpotong untuk plasma, dan yang lebih pelik lagi, ada bagian-bagian lahan yang justru diklaim secara perorangan oleh oknum internal sendiri.
“Kami sudah menunjuk operator agar manajemen lebih teratur, tapi tetap tidak berjalan maksimal karena ada panen liar dan panen massal yang justru merusak tanaman. Itu ulah orang internal sendiri,” ujar Aprina. Pernyataan ini membuka dimensi baru dari konflik, yakni tidak hanya soal transparansi pengurus, tetapi juga masalah disiplin dan kohesivitas internal di antara anggota sendiri.
Sebuah Titik Terang: Komitmen dan Kesepakatan di Tengah Kebuntuan
Rapat yang berlangsung alot dan penuh emosi akhirnya menemui titik terang. Semua pihak menyadari bahwa kebuntuan ini harus diakhiri dan kepentingan ratusan petani harus diutamakan. Ketua DPRD Lamandau, Herianto, menegaskan komitmen dewan untuk menjadi mediator yang aktif. “Kami berkomitmen menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Rapat dengar pendapat ini adalah langkah awal untuk menyelesaikan persoalan Gapoktanhut secepatnya,” ujarnya.
Hasil konkret dari RDP tersebut adalah pembentukan Tim Terpadu yang akan bertugas menyelesaikan konflik internal ini. Tugas tim ini sangat krusial:
-
Menginventarisasi ulang luasan lahan yang dikelola untuk memetakan kembali kepemilikan dan pengelolaan yang sebenarnya.
-
Mempersiapkan restrukturisasi kepengurusan Gapoktan dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan, khususnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1091 dan 1093 Tahun 2024.
Sementara menunggu proses restrukturisasi, disepakati bahwa panen hanya boleh dilakukan oleh operator resmi, PT Selo Emas Agung Abadi, dengan pengawasan ketat dari aparat keamanan dan koordinasi penuh dengan perwakilan KTH. Ini adalah langkah darurat untuk mencegah praktik panen liar yang selama ini merugikan.
Pemerintah daerah, yang diwakili oleh Wakil Bupati Lamandau, Absul Hamid, juga tidak tinggal diam. Dia menegaskan bahwa masalah ini muncul akibat lemahnya transparansi dan berjanji untuk segera menindaklanjuti. “Demi keadilan, karena ini menyangkut banyak masyarakat di beberapa desa. Pak Bupati sudah menegaskan siap menyelesaikan permasalahan ini,” katanya. Pemerintah daerah didorong untuk menindaklanjuti rekomendasi rapat paling lambat 30 hari ke depan.
Refleksi: More Than Just a Protest
Aksi ratusan petani di Lamandau ini adalah lebih dari sekadar demonstrasi. Ini adalah sebuah pelajaran demokrasi di tingkat akar rumput. Mereka menunjukkan bahwa ketika saluran aspirasi konvensional tidak lagi bekerja, masyarakat memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya secara langsung dan kolektif kepada pemegang kekuasaan.
Peristiwa ini juga menyoroti betapa kritikalnya tata kelola yang transparan dan akuntabel dalam setiap institusi, termasuk kelompok tani. Kepercayaan adalah modal sosial utama yang一旦 rusak, dapat memicu konflik berlarut yang merugikan semua pihak.
Kini, semua mata tertuju pada kinerja Tim Terpadu dan komitmen Pemerintah Daerah Lamandau. Apakah kesepakatan yang telah ditandatangani akan menjadi awal dari penyelesaian yang adil, atau hanya menjadi dokumen lain yang tersimpan rapi? Jawabannya terletak pada konsistensi dan kesungguhan semua pemangku kepentingan untuk mendahulukan kesejahteraan para petani, pahlawan sejati yang menjaga dan mengelola hutan untuk keberlanjutan kehidupan di Bumi Lamandau.